Posted by PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN on Sunday, March
20, 2016
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas
membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa
literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan
pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).Deklarasi
UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi,
menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan
informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuankemampuan itu perlu
dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat
informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran
sepanjang hayat.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu
usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah
(peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah,
Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media
massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan,
dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan
dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya
berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan
kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam
hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan
membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan
pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat
berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang
terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan Gerakan Literasi Sekolah
dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan. Gerakan Literasi Sekolah
diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan
masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan
ini sebagai bagian penting dalam kehidupan.
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun
mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam
bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini
disebut sebagai literasi informasi.
Clay (2001) dan Ferguson
(www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi
informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan,
literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu
kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui
gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi
dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.
2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan
untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting)
berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating),
mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan
informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara
lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi,
memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System
sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan,
memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam
memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian,
pekerjaan, atau mengatasi masalah.
4. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan
untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media
elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan
memahami tujuan penggunaannya.
5. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu
kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras
(hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak,
mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam prak- tiknya, juga pemahaman
menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan
dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoperasikan
program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena
perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola
informasi yang dibutuhkan masyarakat.
6. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman
tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan
kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan
audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang
tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan
ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di
dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benarbenar perlu disaring
berdasarkan etika dan kepatutan.
Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam
gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap
perkembangan yang dapat diprediksi. Tahap perkembangan anak dalam belajar
membaca dan menulis saling beririsan antartahap perkembangan. Memahami tahap
perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih
strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan
perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang Sekolah
yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik
memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis
teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan
kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru
di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan
bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional
guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.
d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun
Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’ merupakan
contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.
e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan Kelas
berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan
berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini
juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir
kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan
dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran
terhadap keberagaman Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan
literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan
kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman
multikultural.
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam
pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide
to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan
budaya literasi yang positif di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi
Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah.
Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk
pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya
memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk
koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karyakarya peserta didik
diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik.
Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut
Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan
karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah
terhadap pengembangan budaya literasi.
b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai
model komunikasi dan interaksi yang literat Lingkungan sosial dan afektif dibangun
melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat
dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun.
Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk
menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan
hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian,
setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah.
Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di
sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku,
lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan
sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain
dengan membangun budaya kolaboratif antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan
demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran
orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen
sekolah dalam pengembangan budaya literasi.
c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik
yang literat Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan
lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan
literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup
banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan
membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit
sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka
perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga
kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan,
dan keterlaksanaannya.
Program Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara
bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di seluruh Indonesia.
Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah (ketersediaan fasilitas, bahan
bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan kesiapan
sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan
perangkat kebijakan yang relevan).
Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah
1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang
menyenangkan di ekosistem sekolah Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan
minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah.
Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan
literasi peserta didik.
2. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk
meningkatkan kemampuan literasi Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan
mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman
pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif
melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).
3. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis
literasi Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan
kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir
kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan
menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran (cf. Anderson &
Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait
dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung
pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks
pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat
khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran
tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18 buku
bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran ini
disediakan oleh wali kelas.